Si bocah yang teramat terluka melihat kondisi fisik Pak Tua dan memahami apa yang telah dilaluinya pergi keluar gubuk. Ia menangis untuk kesekian kalinya.
Santiago,
nelayan tua tangguh yang berjanji pada dirinya sendiri untuk membawa ikan
tangkapan seberat 1000 pon setidaknya. Ia berlayar berhari-hari dan tidak
mendapat apa yang diinginkan. Ia pergi melaut bersama seorang bocah yang setia
menemaninya sampai akhirnya si bocah tidak menemaninya lagi karena harus
berlayar bersama ayahnya.
Belakangan,
Pak Tua percaya bahwa nasibnya kian buruk atau setidaknya dia tidak memiliki
keberuntungan. Setelah berhari-hari melaut, Pak Tua kembali ke daratan dan
berniat untuk kembali melaut esok harinya. Ia ingin membuktikan bahwa dalam
kehidupannya setidaknya sesuatu yang sangat besar pernah ditangkapnya.
Mulailah
ia melaut, ditemani si bocah untuk menyiapkan segalanya. Si bocah tinggal di
daratan dan akan menyusul pergi bersama ayahnya tetapi tidak akan jauh ke
tengah samudra. Di lain pihak, Pak Tua berniat untuk pergi lebih jauh dari
biasanya.
Rupanya,
Pak Tua terbawa arus dan angin dan sampai ke bagian yang teramat jauh dari
daratan. Beberapa kali tali pancingnya berhasil mengait sesuatu tetapi bukan
ikan besar yang diharapkannya. Beberapa ikan terbang dan lumba-lumba sempat
mendekat. Beberapa berhasil ia tangkap untuk perutnya. Pak Tua juga butuh
makan. Dalam pesiarnya, sesekali ia didatangi burung-burung pencari ikan yang
melihat siluet ikan dari atas. Demikian juga dengan ubur-ubur yang mematikan
yang sempat menyambangi tali pancingnya.
Setelah
beberapa lama, tali pancing menegang. Pak Tua sangat berharap ikan yang
tersangkut kali ini berukuran besar dan ia yakin itu. Ia tak peduli ikan apa
yang tersangkut karena ia tidak tahu, yang terpenting ikan ini besar. Namun
ikan ini tidak seperti ikan lain, ia cukup tenang. Ia tidak terburu-buru
melahap umpan. Pak Tua juga yakin mata pancing telah tersangkut dalam mulut si
besar.
Dengan
sangat berhati-hati agar si ikan tidak berontak dan memutuskan tali pancing,
Pak Tua Santiago mengulur talinya agar si ikan tidak merasa terancam. Keputusan
yang benar. Si ikan bergerak perlahan sehingga perahu Pak Tua dapat
mengikutinya. Malam dan siang terus berganti tanpa ada kemajuan. Pak Tua yang
semangat sekaligus lelah berusaha beristirahat tetapi tidak mau kehilangan
kesempatan mendapat ikan yang besar ini. Tangannya tidak pernah lepas dari tali
pancing hingga berdarah dan keram. Suatu ketika tali pancing bergerak dan
menegang. Tiba-tiba si ikan melompat ke permukaan. Sungguh agung, mengkilap,
dan cantik. Pak Tua keheranan dibuatnya. Ia tak pernah melihat ikan sebesar itu.
Ia semakin semangat dan tak mau kehilangan ikan besar yang membuatnya jatuh
cinta itu. Pasti lebih dari 1500 pon, pikirnya. Ia bergumam bahwa meskipun ia
menyukai kawan barunya, ia tetap harus membunuhnya.
Berhari-hari
ia menunggu lagi sampai kehabisan tenaga serta merasa sangat lemah lahir dan
batin. Sampai sebuah keajaiban datang. Ikan besar itu mendekat ke permukaan.
Pak Tua menyiapkan tombaknya dan sejurus mengarahkannya ke kepala si ikan. Ikan
itu mati! Air laut mengilap karena darah. Pak Tua kemudian mengikat ekor ikan
itu pada badan perahu karena tak mungkin ikan itu diangkat ke atas perahu. Ikan
itu terlalu berat dan perahu tidak akan dapat memuatnya.
Pak
Tua sangat bahagia, namun ia melupakan sesuatu. Ia beranjak pulang sampai dia
melihat ada sayup-sayup sirip ikan pemangsa daging. Hiu. Rupanya hiu-hiu
mencium bau darah ikan tangkapan Pak Tua. Hiu pertama mencabik badan ikan
besar. Sekitar 40 pon hilang. Demikian pikir Pak Tua. Pak Tua yang merasa ikut
tercabik segera menombak kepala hiu itu hingga mati.
Sekarang
ikan besar semakin menarik perhatian hiu lain karena darahnya semakin banyak
mengalir. Dan benar, rombongan ikan hiu datang bergiliran menghampiri sumber
aroma segar yang menggoda di tengah laut. Ikan besar Pak Tua sudah koyak dan
tak berbentuk. Hiu-hiu itu memakannya! Pak Tua sudah pasrah karena terlalu
lelah. Ia sempat melawan hiu-hiu itu, tetapi akhirnya menyerah. Ia merasakan getaran-getaran
saat beberapa hiu memakan ikan besar itu dari bagian bawah perahu. Tapi
setidaknya Pak Tua tidak diserang.
Pak
Tua menyalahkan dirinya beberapa kali. Meski ia mera beruntung mendapatkan ikan
itu, ia merasa ia salah karena telah melaut terlalu jauh. Ia juga menyesal
karena telah membunuh ikan dan membiarkan hiu-hiu memakannya.
Pulang
adalah satu-satunya tujuan sekarang. Perahunya sudah tidak berat. Daging-daging
ikan itu telah habis. Ia bergerak ke daratan bersama angin. Ia sampai ke
daratan dengan keadaan yang sangat payah. Hari masih gelap, orang-orang masih
terlelap. Ia melangkah keluar perahu dan terduduk karena lelah. Ia mencapai
gubuknya dengan beberapa kali beristirahat. Ia menginginkan dipannya. Terdengar
nyaman.
Ia
masuk ke gubuknya dan mengambil selimut lalu tertidur.
Keesokan
paginya, si bocah datang. Seperti biasa, ia selalu datang untuk menengok Pak
Tua. Dan hari ini ia sangat senang Pak Tua sudah kembali. Ia membawakan sarapan
untuk disantap Pak Tua saat ia bangun nanti.
Si
bocah tidak menuju ke pantai untuk melihat perahu dan tangkapan Pak Tua. Ia
telah mendengarnya dari orang-orang. Perahu Pak Tua telah dititipkan untuk
dijaga. Orang-orang ramai ingin melihat tangkapan Pak Tua. Ikan itu sangat
besar. Seekor hiu yang sangat besar. Belum ada yang pernah melihatnya. Belum
ada yang pernah mendapat ikan sebesar itu. Meskipun ikan itu sudah kehilangan
hampir seluruh tubuhnya, rangkanya masih utuh, dengan kepala dan ekornya.
Pak
Tua yang amat lelah tetap merasa kalah. Ia telah kalah. Ia merasa tidak
berhasil. Namun, si bocah teramat bangga dengan Pak Tua dan berkata banyak yang
harus dipelajari darinya. Pak Tua tidak kalah dan si bocah tau itu. Si bocah
yang teramat terluka melihat kondisi fisik Pak Tua dan memahami apa yang telah
dilaluinya pergi keluar gubuk. Ia menangis untuk kesekian kalinya.
コメント